Indosmelt Bangun Smelter Rp 6,58 Triliun

PT. Indosmelt akan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih tembaga berkapasitas 350 ribu ton konsentrat per tahun di Maros, Sulawesi Selatan. Perseroan siap mengucurkan dana sebesar US$ 700 juta (Rp 6,58 triliun).

Presiden Direktur Indosmelt M. Natsir Mansyur mengatakan, dana tersebut akan digunakan untuk membangun smelter pemurnian, pengolahan, memproduksi asam sulfat, hingga pembangkit listrik (power plant). "Jadi, kami akan bangun terintegrasi. Kami juga akan bangun dermaga bongkar-muat dengan daya tampung kapal seberat 20 ribu ton. Produknya akan diekspor dan dipasok ke dalam negeri," ujar Natsir.

Menurut dia, pihaknya sudah mengantongi izin prinsip penanaman modal dan menjadwalkan pembangunan pabrik pada Januari 2014-2016. Perseroan juga sudah mendapatkan komitmen pasokan bahan baku konsentrat tembaga dari PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Indonesia, ditambah pasokan dari impor.

Indosmelt tengah menyusun desain dan perencanaan pembangunan hingga 2013, pembangunan pabrik tahun 2014-2016, tes praoperasi dan commissioning tahun 2016-2017, dan selanjutnya smelter akan berproduksi. Smelter itu akan menghasilkan 100 ribu ton katoda tembaga per tahun.

Pabrik juga akan memproduksi asam sulfat yang dibutuhkan industri pupuk, 200 ribu ton terak tembaga yang dibutuhkan pabrik semen, serta memproduksi lumpur anoda 800 ribu ton per tahun yang dibutuhkan untuk industri pemurnian emas dan perak.

Sementara itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat menuturkan, Indonesia saat ini memiliki cadangan terbukti sebanyak 4,2 miliar ton bijih tembaga. Produksi bijih tembaga tahun lalu naik hingga 10 kali lipat, namun yang diolah di dalam negeri hanya 30%.

"Kita saat ini memiliki PT Smelting Indonesia yang mengolah bijih tembaga menjadi katoda tembaga dengan kapasitas 300 ribu ton per tahun. Perusahaan ini mendorong tumbuhnya industri kabel di dalam negeri dengan kemampuan berdaya saing pasar ekspor," kata Hidayat.

Karena itu, Indonesia membutuhkan banyak smelter tembaga daripada mengekspor dalam bentuk bijih tembaga. Hasilnya bisa digunakan untuk bahan baku industri hilir berbasis tembaga, antara lain industri otomotif, electrical, piping, dan arsitektur.

Dorong Penghiliran

Hidayat menegaskan, pemerintah terus memacu program penghiliran industri berbasis sumber daya alam (SDA) mineral tambang. Hal tersebut seiring bakal berlakunya UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang melarang ekspor bahan mentah SDA tersebut mulai 2014.

Saat ini, pemerintah sudah memberlakukan kebijakan bea keluar (BK) sekitar 2096 terhadap 65 jenis produk tambang mineral. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga ketersediaan bahan baku SDA yang akan diolah di dalam negeri agar bernilai tambah ekonomi tinggi.

Pemerintah juga menyiapkan sejumlah insentif investasi untuk mendukungnya. Tax holiday diberikan sesuai PMK No. 130 Tahun 2011, tax allowance sesuai PP No. 52 Tahun 2011, dan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang modal untuk kebutuhan pembangunan dan perluasan produksi sesuai PMK No. 76 Tahun 2012.

"Kita tidak melarang ekspor, tapi menahan laju ekspor dengan penetapan BK sampai berlakunya UU 4/2009. Ini demi kepentingan nasional. Kalau ada yang keberatan dan dibawa ke WTO, kami siapkan lawyer-lawyer skala internasional," tutur dia.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Industri, Riset, dan Teknologi Bambang Sujagad mengatakan, pekan depan, Kadin dan Kementerian ESDM akan meneken nota kesepahaman kerja sama koordinasi untuk mengklarifikasi pengajuan izin ekspor bahan tambang mentah mineral.

Hal tersebut sebagai implementasi dari Peraturan Menteri ESDM No 07/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. "Koordinasi ditandai dengan membuat situs bersama sebagai wadah pelaporan dan pengajuan izin untuk klarifikasi pengusaha dan pengekspor barang tambang mineral. Prosesnya cukup dengan sistem online" kata Bambang.

Penghiliran Nikel

Sementara itu, Hidayat juga menyampaikan, penghiliran nikel menghasilkan nilai tambah hingga 105 kali lipat dibandingkan nilai ekspor bijih nikel. Industri hilir nikel diperlukan untuk mendukung industri baja tahan karat (stainless steel), nikel alloy, untuk bahan melapis logam-logam, katalisator, dan lainnya.

Indonesia saat ini memiliki cadangan nikel terbukti sebesar 577 juta ton. Industri yang mengolah bijih nikel menjadi feronikel dan nikel matte di Tanah Air sebenarnya sudah ada. Namun, kapasitasnya masih hanya 80 ribu ton dan sepenuhnya dieskpor.

sumber : Investor Daily Investments

Comments

Popular posts from this blog

Landasan Hukum Sentra IKM

Perkembangan Industri Alat Transportasi